|
Di depan Masjid Hassan II |
Maroko adalah Negeri eksotik di ujung barat dunia Islam. Maroko
merupakan salah satu negera kerajaan dengan penduduk mayoritas muslim (98,7 %
dan sisanya Yahudi). Agama Islam di negeri ini dikembangkan dengan menghargai
tradisi lokal, seperti yang dilakukan oleh para dai atau wali songo ketika
menyebarkan Islam di Nusantara.
Maroko
juga dikenal sebagai negara Arab yang gaul, nuansa Eropanya kuat, tetapi tak
kehilangan akar tradisi Arab dan Islam. Kebebasan berpendapat dan tradisi
berpikir sangat terbuka di negeri Ibnu Batutah ini. Pemerintah tidak memaksa
rakyatnya untuk berpola pikir secara kaku atau seragam. Barangkali salah
satunya adalah karena faktor penguasa Maroko saat ini, Raja Muhammad VI, seorang
lulusan Eropa yang berpikiran Modern. Ia bertekad untuk memodernkan Maroko,
namun tetap melandaskannya kepada ajaran Islam.
Raja
yang berusia 49 tahun ini sedang berupaya mempertahankan tradisi keagamaan yang
berusia ribuan tahun dengan arus globalisasi. Maka tak heran, jika di negeri
bekas jajahan Perancis dn Spanyol ini, simbol-simbol tradisi Islam tetap
kelihatan. Aktifitas religius selalu semarak. Aneka ritual tarekat sufi bebas
berekspresi. Di tengah kuatnya arus modernisasi dan globalisasi yang berhembus
kencang dari Barat.
Ada Tradisi Kenduri di Maroko
Walaupun belum genap tiga tahun saya tinggal di negeri
yang bermadzhab Maliki tulen ini,
paling tidak saya sudah bisa mengenal budaya dan tradisi yang berkembang dan
mereka anut. Salah satu pengalaman yang cukup berkesan bagi saya, ketika saya
sering diundang pada acara-acara jamuan makan mereka, baik itu pada walimah
pengantin, tasyakuran, khitanan, maupun acara kirim do’a untuk mayit.
Di tanah air, acara seperti ini sangat populer sekali
dengan istilah kenduri atau selamatan (slametan-jawa). Istilah
tersebut di Maroko lebih akrab dengan sebutan zardah ( الزردة) / salkah
(السلكة) dalam bahasa darijah
(dialek) mereka. Salah satu budaya
kenduri di indonesia yang masih eksis yaitu Tahlilan. Menurut
kajian historis, tahlilan ini merupakan hasil akulturasi budaya Hindu.
Kala itu para Muballigh Islam di indonesia yaitu wali songo berhasil
melakukan dialog dan negoisasi dengan tradisi lokal. Sehingga Islam dapat
diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia.
Bagi
warga Nahdliyin(NU), tahlilan memang merupakan tradisi kegemaran yang
sudah mengakar dan masih terus dilestarikan hingga kini. Lain halnya dengan
warga Muhammadiyyah, mereka memang agak sedikit alergi dengan tradisi
tahlilan seperti ini. Konon menurut cerita, sebenaranya dahulu KH.Ahmad Dahlan
sendiri juga sering tahlilan dan mengamalkan tradisi-tradisi NU lainnya. Karena
Beliau lahir dari kalangan yang kental dengan budaya lokal, seperti Hindu dan
Budha. Tapi belakangan ini, entah kenapa para penerusnya sangat alergi sekali
dengan tahlilan dan ritual-ritual yang semisalnya. Wa allahu a’lam.
Satu
hal yang sangat menarik bagi saya, ketika saya mendapatkan cerita dari salah
seorang sahabat saya, anak Maroko yang baru saja ditinggal wafat ayahnya. Dia sempat bercerita kepada saya,
bahwa kami biasanya mengadakan zardah dengan membaca Al-qur’an dengan
memilih surat-surat khusus seperti surat Yasin, al-ikhlas, Muawidzatain, dan
beberapa kalimat tayyibah seperti tahlil pada beberapa hari
tertentu pasca kematian jenazah itu. Misalnya, ada beberapa sekelompok orang
yang memperingati hari berkabung itu sejak hari pertama meninggalnya hingga
hari ke-7 dan 40 setelah kematiannya.
Nah, ini merupakan salah
satu bukti bahwa di Negeri seribu benteng ini, ternyata ada juga tradisi
semacam kenduri yang mirip sekali dan bahkan kalau boleh saya bilang hampir
sama persis dengan budaya kita di tanah air. Barang kali ini karena Syeikh Maulana
Malik Ibrahim yang dikenal dengan Maulana Maghribi itu benar asalnya dari Maroko.
Maka Islam di Maroko ini sangat kultural dan ramah terhadap budaya lokal
sebagaimana yang berkembang di Indonesia. Beda dengan negara arab lainnya
seperti Saudi.
Orang Maroko
mempunyai tradisi yang unik saat menyajikan makanan, baik itu pada acara
kenduri mau jamuan makan lainnya, mereka menyajikan menu makanan itu sebanyak
tiga kali dan bahkan bisa lebih.
|
Jamuan makan di rumah konglomerat Maroko (Kambing guling) |
Misalnya,
menu pertama berupa ikan laut, kemudian
disusul dengan menu kedua, yaitu ayam dan ketiganya berupa daging sapi atau
kambing. Bahkan mereka kalau menyajikan daging kambing terkadang berupa kambing
utuhan (kambing guling) yang hanya dipotong kepala dan kakinya saja. Jadi,
masaknya seperti masak ayam panggang (ingkung). Porsi menu tersebut
menurut ukuran perut orang Indonesia, sangat luar biasa banyaknya. Soalnya bagi
mereka satu ekor ayam itu untuk porsi satu orang atau bahkan kadang-kadang bisa
lebih.
Budaya
yang sering menjadi buah bibir sebagian ulama’ Indonesia ini, ternyata disini
tak sedikit juga penggemarnya. Walaupun ada juga beberapa kelompok yang enggan
mengikutinya khususnya diacara-acara jamuan makan yang diadakan pasca ada orang
yang meninggal, atau sering kita kenal dengan istilah “kirim do’a kepada si
mayyit”. Bagi kelompok yang kontra dalam masalah ini, mereka beranggapan bahwa
acara itu tidak ada tuntunannya didalam syari’at Islam, sehingga itu termasuk bid’ah
dan tentu sangat sesat dan menyesatkan.
Kelompok yang kontra itu biasanya selalu berpedoman pada dalil yang sudah tidak
asing lagi bagi kita umat islam, yaitu: “setiap perkara
yang baru itu adalah bid’ah, dan setiap Bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat
itu masuk neraka”. Dan argumen yang paling kuat bagi mereka bahwa ibadah
itu bersifat tauqifi (tak bisa diedit/diotak-atik lagi).
Paham
Aswaja di Maroko
Aqidah
Asy’ariyah merupakan label agama dan budaya yang sangat kental serta menjadi
identitas beragama di Maroko. Kenyataan ini telah diungkapkan oleh seorang
penyair terkenal Maroko, Abdul wahid Ibn Asyir yang wafat pada tahun 1040 H
dalam syairnya :
في عقد الأشعري وفقه مالك *** وفي
طريقة الجنيد السالك
Kira-kira
artinya kurang lebih: “Aqidahnya Asy’ariyah, fiqihnya imam Malik dan tarekat
sufinya mengikuti Al Junaid”.
|
Salah satu bukit perbatasan Spanyol |
Maka tidak heran, kalau paham
Aswaja
An-Nahdliyyah mudah diterima oleh warga muslim Maroko. Hal itu terbukti
dengan ikut sertanya alim ulama Maroko dalam berbagai Moment yang
diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama, seperti acara ICIS yang dihadiri oleh Prof.
Dr. Idris Chalifa (Pakar Aqidah Asy-’Ariyyah Maroko) dan Dr. yessif (Penasehat
Raja Maroko) dan Multaqo As-Sufi di Jakarta. Sedangkan di Maroko sendiri, acara
pembukaan Konferensi I Nahdlatul Ulama cabang istimewa Maroko yang berlangsung
pada Ahad 15 juli 2012 itu, telah dibuka secara resmi oleh salah seorang ulama
Maroko, Prof. Dr. Mariam Ait Ahmed. Beliau juga pernah menghadiri Kongres Muslimat
NU ke-16 di provinsi lampung.
Saat ini di Maroko telah berdiri komunitas warga NU yang
tergabung dalam Pengurus cabang Istimewa
Nahdlatul Ulama (PCINU) Maroko. Komunitas Nahdliyyin ini terdiri dari
kalangan pelajar, pejabat KBRI, TKI, dan WNA seperti Malaysia dan Maroko
sendiri. Kini PCINU Maroko sudah mulai dikenal dan bekerjasama dengan beberapa
lembaga dan organisasi kemasyarakatan di Maroko.
Kalau kita
telusuri lebih jauh, di Maroko ini juga ada gerakan seperti salafy, tetapi mereka
tidak berani muncul kepermukaan masyarakat secara terang-terangan. Maklumlah
Maroko adalah Negara Kerajaan. Bahkan
Jamaah Tabligh pun ada di Maroko
ini. Penulis pernah menemuinya bahkan diundang dalam suatu acara yang mereka
adakan, karena pada waktu itu kebetulan ada rombongan Jamaah tabligh dari
Indonesia.
Telah dimuat di Koran Republika Senin, 17 September 2012, 11:54 WIB
klik:
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/kabar/12/09/17/mah9ca-melihat-tradisi-islam-di-maroko