Selamat Datang

Selamat Datang

Pages

My Photos

Sabtu, 29 Desember 2012

Ibnu Batutoh; Petualang Legendaris Asal Maroko


        Ketika disebut nama Maroko, maka yang paling terlintas di benak orang Indonesia adalah Ibnu Batutoh, Sang petualang legendaris dari Negeri Matahari Terbenam ini. Ia dianggap sebagai pelopor penjelajah abad 13 M yang belum tertandingi. Sekalipun ada Marcopolo yang juga melakukan penjelajahan dunia, namun masih tidak sebanding dengan Ibnu Batutah terutama dalam kuantitas perjalanan. Karenanya, ia dijuluki dengan sebutan “pengembara muslim arab”.
Makam Ibnu Batutoh di kota Tanger- Maroko

Perjalanan panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia itu mampu melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai setelah Ibnu Batutah. Sejarawan Barat, George Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Batutah melebihi capaian Marcopolo. Tak heran, bila Sarton geleng-geleng kepala dan mengagumi ketangguhan seorang Ibnu Batutah yang mampu mengarungi lautan dan menjelajahi daratan sepanjang 120.000 kilometer itu. Sebuah pencapaian yang tak ada duanya di masa itu.

Lalu siapa Nama lengkap Ibnu Batutoh itu? Ia adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Abdullah Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdurrahman ibn Yusuf Al Lawati Al Tanjawi yang kemudian dikenal dengan Ibnu Batutoh. Lahir di Tanger (kota di sebelah utara Maroko) 24 Februari 1304 M/ 703 H dan wafat di kota kelahirannya pada tahun 1377 M/ 779 H. Versi lain mengatakan, ia wafat di kota Fez atau Casablanca. Namun pendapat yang rajih (benar) ia dimakamkan di tanah kelahirannya, sebagaimana makamya terdapat di kota wisata Tanger-Maroko.

Ibnu Batutoh berasal dari keturunan bangsa Barbar. Besar dalam keluarga yang taat memelihara tradisi Islam. Saat itu, Maroko sedang dikuasai Dinasti Mariniah. Ia dikenal sangat giat mempelajari fiqh dari para ahli yang sebagian besarnya menduduki jabatan Qadhi (hakim). Beliau juga mempelajari sastra dan syair Arab.

Pada usia sekitar 21 tahun 4 bulan, ia menunaikan rukun iman kelima. Perjalananya menuju ke Baitullah telah membawanya berpetualang dan menjelajahi dunia. Ia mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia. Sampai kemudian Ia melanjutkan perjalanannya hingga melintasi sekitar 44 negara selama 30 tahun.
Ruangan dalam makam Ibnu Batutoh di kota Tanger- Maroko

Rihlah Ibnu Batutoh, inilah salah satu  buku legendaris yang mengisahkan perjalanan seorang petualang agung itu pada 1325 hingga 1354 M. Sejatinya, Rihlah bukanlah  judul buku, tetapi hanya menggambarkan sebuah genre (gaya sastra). Judul asli dari buku yang ditulis Ibnu Batutah itu adalah Tuhfat al-Nuzzhar fi Ghara’ib al-Amshar wa ’Aja’ib al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-kota Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan) ditulis oleh Ibnu Juzay, juru tulis Sultan Maroko, Abu ‘Inan. Karya ini telah menjadi perhatian berbagai kalangan di Eropa sejak diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Perancis, Inggris dan Jerman.

Buku itu disusun menjadi sebuah perjalanan dunia yang mengagumkan dengan mengaitkan berbagai peristiwa, waktu pengembaraan serta catatan-catatan penting yang berisi berita dan peristiwa yang dialami Ibnu Batutah selama pengembaraanya. Dalam karyanya tersebut, Ibnu Batutah tidak mengumpulkan rujukan atau bahan-bahan dalam menunjang tulisannya hanya mengisahkan pengalaman atau sejarah empiris negara atau kota-kota yang pernah disinggahinya terutama yang menyangkut kultur setempat. Pencapaian Ibnu Batutah yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika, termasuk Maroko.

Kisah Petualangan Ibnu Batutoh

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Tuntutlah ilmu walaupun hingga ke negeri Cina”. Islam memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan, hingga ke tempat yang jauh sekalipun.  Terinspirasi hadits itu, Ibnu Batutah pun melakukan perjalanan untuk mencari pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan membentuk konsep Al-Rihlah fi Talab al-’Ilmi (Perjalanan untuk Mendapatkan Ilmu Pengetahuan).

Ibnu Batutah menghabiskan umurnya  hingga 30 tahun untuk berpetualang dari satu negeri ke negeri lainnya. Hampir seluruh dunia telah dijelajahinya, mulai dari Afrika Utara ke Timur Tengah, dari Persia ke India terus ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan India. Kemudian dilanjutkan ke arah Timur Laut menuju daratan China dan kearah Barat hingga sampai ke Spanyol.

Pengembaraannya itu ia lakukan antara musim haji yang satu ke musim haji berikutnya. Ia menjadikan Makkah Al Mukaramah sebagai awal berlayar dan sebagai tempat kembali berlabuh. Sungguh suatu pengembaraan yang penuh kejadian penting dalam sejarah, sarat dengan makna dan hikmah. Pengembaraan perdananya dimulai ketika menunaikan ibadah haji yang pertama, tepat pada tanggal 14 Juni 1325. Ia bersama jamaah Tanger lainnya menempuh keringnya hawa laut Mediterania di tengah teriknya daratan berpasir Afrika Utara. Semuanya dilakukan hanya dengan berjalan kaki.

Dalam perjumpaannya dengan banyak orang, Ibnu Batutah senantiasa berusaha meningkatkan kualitas silaturahim dengan mendekati orang-orang yang bisa diajak ber-mudzakarah serta berbagi ilmu dan pengalaman. Ia sangat terinspirasi dengan hadits Nabi Saw.,“Perumpamaan teman yang saleh dan teman yang jahat adalah seperti orang yang membawa minyak misik (harum) dan orang yang meniup bara api pandai besi. Orang yang membawa minyak misik mungkin akan memberikannya kepadamu, atau engkau akan membelinya atau engkau merasakan bau harum daripadanya. Adapun peniup bara api pandai besi, mungkin akan membakar pakaianmu, atau engkau akan merasakan bau yang busuk daripadanya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Tempat-tempat yang disinggahi diceriterakannya secara lengkap dengan bahasa yang indah, sehingga siapa yang membaca tulisan Ibnu Batutah atau mendengarkannya berhasrat untuk mengunjunginya. Kemauannya yang kuat untuk mengunjungi wilayah-wilayah Islam saat itu membawanya mengembara

Tiba di Samudera Pasai (Aceh)

Petualangan dan perjalanan panjang yang ditempuh Ibnu Batutah sempat membuatnya terdampar di Samudera Pasai (kini Aceh). Tepatnya di sebuah Kerajaan Islam pertama di Nusantara yang terletak di utara pantai Aceh antara abad ke-13 hingga 15 M. dengan Raja pertamanya Sultan Malikus salih (W 1297), yang sekaligus sebagai sultan (pemimpin) pertama negeri itu. Ia menginjakkan kakinya di Aceh pada tahun 1345. Sang pengembara itu singgah di bumi Serambi Makkah selama 15 hari.

Catatan Ibnu Batutah dalam perjalanan laut menuju Cina menyebutkan, Ia pernah mampir di wilayah Samudera Pasai. Dalam catatan perjalanannya itu, Ibnu Batutah melukiskan Samudera Pasai dengan begitu indah. ”Negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah,” tutur sang pengembara berdecak kagum. Kedatangan penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari para ulama dan pejabat Samudera Pasai.

Kedatangan Ibnu Batutah disambut Amir (panglima) Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir Al-Syirazi, Tajuddin Al-Asbahani dan beberapa ahli fiqh atas perintah Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345). Menurut pengamatan Ibnu Batutah, Sultan Mahmud merupakan penganut Mazhab Syafi’i yang giat menyelenggarakan pengajian dan mudzakarah tentang Islam.

Penjelajah termasyhur asal Maghrib (sebutan Maroko dalam Bahasa Arab) itu sangat mengagumi Sultan Mahmud Malik Al-Zahir penguasa Samudera Pasai saat itu. ”Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,” kisah Ibnu Batutah.

Ia juga melihat Samudera Pasai saat itu menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Menurut Ibnu Batutah, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah (semangat) belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama. Dia juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan. Selama berpetualang mengelilingi dunia dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam kitabnya yang berjudul Tuhfat al-Nazhar itu, Ibnu Batutah menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang memiliki kelebihan yang luar biasa.

Ketujuh raja yang dikagumi Ibnu Batutah itu antara lain; raja Iraq yang dinilainya berbudi bahasa, raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah, raja Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia, raja Turki dikaguminya karena gagah perkasa, raja Romawi yang sangat pemaaf, raja Melayu Malik Al-Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, serta raja Turkistan.

Ibnu Batutoh Sempat mengunjungi pedalaman Sumatra yang kala itu masih dihuni masyarakat non-Muslim. Di situ juga Ia menyaksikan beberapa perilaku masyarakat yang mengerikan, seperti bunuh diri massal yang dilakukan hamba ketika pemimpinnya mati. 

Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu Batutah akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina. Catatan perjalanan Ibnu Batutah itu menggambarkan pada abad pertengahan, peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.

Berkat petualangan singkat Ibnu Batutoh ini, kini Bangsa Indonesia sangat dikenal di mata masyarakat Maroko, sebagai bangsa yang ramah, santun, toleran dan cinta terhadap agama Islam yang moderat. Hal itu juga diakui oleh para ulama Maroko, “masyarakat muslim Indonesia sangat terpuji akhlaknya, mereka memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap agama” pengakuan Dr. Idris Hanafi,  Dosen pakar Hadits beberapa waktu lalu saat menyampaikan kuliah studi Islam di Univ. Imam Nafie’, Tanger-Maroko.

Begitu juga tabiat masyarakat Maroko, yang terkenal dengan sikapnya yang sangat ramah dalam menghormati tamu, mereka menganggap tamu itu benar-benar seperti raja. Hal ini tentunya merupakan ciri khas orang Maroko dan sebagai aplikasi dari sebuah Hadits Rasul Saw., “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tamunya, yaitu jaizahnya.” Para sahabat bertanya: “Apakah jaizahnya tamu itu, ya Rasulullah?” Beliau S.a.w. bersabda: “Yaitu pada siang hari dan malamnya. Menjamu tamu yang disunnahkan secara muakkad atau sungguh-sungguh ialah selama tiga hari. Apabila lebih dari waktu sekian lamanya itu, maka hal itu adalah sebagai sedekah padanya.” (Muttafaqun ‘Alaih).

Nama Ibnu batutoh diabadikan Dunia

Nama besar dan kehebatan Ibnu Batutah dalam menjelajahi dunia di abad pertengahan itu, hingga kini tetap dikenang. Bukan hanya umat Islam saja yang mengakui kehebatannya, Barat pun mengagumi sosok Ibnu Battuta. Tak heran, karya-karyanya disimpan Barat.
Air port Ibnu Batutoh di kota Tanger- Maroko

Sebagai bentuk penghormatan atas dedikasinya, International Astronomy Union (IAU) Perancis mengabadikan Ibnu Batutah menjadi nama salah satu kawah bulan. Kawah Ibnu Batutah itu terletak di Barat daya kawah Lindenbergh dan Timur laut kawah bulan terkenal Goclenius. Di sekitar kawah Ibnu Batutah tersebar beberapa formasi kawah hantu. Kawah Ibnu Batutah berbentuk bundar dan simetris. Dasar bagian dalam kawah Ibnu Battuta terbilang luas. Diameter kawah itu mencapai 11 kilometer. Dasar kawah bagian dalamnya terbilang gelap, segelap luarnya. Kawah Ibnu Batutah awalnya bernama Goclenius A. Namun, IAU kemudian memberinya nama Ibnu Batutah.
Selain dijadikan nama kawah di bulan, Ibnu Batutah juga diabadikan dan dikenang masyarakat Dubai lewat sebuah mall atau pusat perbelanjaan bernama Ibnu Batutah Mall. Di sepanjang koridor mall itu dipajangkan hasil penelitian dan penemuan Ibnu Batutah.

Sementara di kampung halamannya sendiri, Tanger-Maroko Ibnu Batutah sangat terkenal. Di dekat Stadion Tanger terdapat bentuk Globe kecil yang menandai kediaman Ibnu Batutah yang kecil. Terdapat juga di Hotel Ibn Battouta di Jalan (Rue) Magellan, dibagian bawah perbukitan ada burger Ibn Battouta dan Cafè Ibn Battouta. Ferry yang menghubungkan Spanyol dengan Maroko menyeberangi Selat Gibraltar juga bernama M.V. Ibn Battouta. Begitu juga bandara kota Tanger bernama Ibn Battouta. Meski petualangan dan pengembaraannya telah berlalu sembilan abad silam, namun kebesaran dan kehebatannya hingga kini tetap dikenang dunia.

0 komentar:

Posting Komentar